Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng, Bali berhasil memenangkan upaya hukum di tingkat kasasi terkait gugatan oleh Yayasan Pengayom Umat Hindu (YPUH) terhadap surat Bupati Buleleng Nomor 180/3704/HK tertanggal 28 Desember 2021 mengenai pemberhentian operasional krematorium oleh yayasan tersebut.
Sebelumnya, pihak YPUH memenangkan gugatan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar dengan putusan Nomor 7/G/2022/PTUN.DPS. Dengan putusan tersebut, Pemkab Buleleng mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya. PTTUN Surabaya menguatkan putusan dari PTUN Denpasar sehingga Pemkab Buleleng mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan kasasi dengan Nomor 7 K/TUN/2023 pada tanggal 20 Februari 2023 memenangkan Pemkab Buleleng dan membatalkan putusan PTTUN Surabaya tanggal 17 Oktober 2022 yang menguatkan putusan PTUN Denpasar pada tanggal 5 Agustus 2022.
Sekretaris Daerah (Sekda) Buleleng Gede Suyasa saat memberikan keterangan terkait putusan kasasi ini di ruang kerjanya, Kamis (8/6), menyebutkan putusan ini telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya putusan ini, menandakan bahwa upaya yang dilakukan Pemkab Buleleng melalui Surat Bupati tersebut telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Para pihak tentu wajib mentaati putusan kasasi dari MA.
“Oleh karenanya, apa yang dilakukan Pemkab Buleleng melalui Surat Bupati yaitu melarang krematorium itu secara hukum adalah upaya yang benar,” sebut dia.
Dasar pelarangan krematorium dari awal sudah disampaikan oleh Pemkab Buleleng dan menjadi materi pada persidangan gugatan yang dilayangkan. Krematorium tersebut tidak ada dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Desa Adat yang memiliki kawasan dimana krematorium itu berlokasi juga keberatan. Serta dasar-dasar adat dan agama lainnya. Latar belakang tersebut yang membuat Bupati mengeluarkan surat terkait pemberhentian krematorium oleh YPUH.
“Kemudian, diberi alternatif terlebih dahulu hingga pihak yayasan tetap melakukan kegiatan krematorium dan akhirnya Bupati melakukan pelarangan. Di samping juga permintaan dari Desa Adat yang telah menjadi kewajibannya untuk mengembalikan fungsi-fungsi kawasan dari Desa Adat,” ujar Suyasa.
Suyasa mengatakan terkait aset Pemkab Buleleng yang digunakan oleh YPUH untuk krematorium tersebut, akan diajukan permohonan eksekusi kasasi terlebih dahulu ke PTUN Denpasar. Kemudian, komunikasi dilakukan dengan YPUH karena proses kerjasamanya tidak jelas, tidak ada batas waktu dan tidak ada perhitungan material sehingga menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan begitu, Pemkab Buleleng harus menegaskan kembali pemanfaatan aset oleh YPUH. Dalam skema pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), ada pola sewa dan kerjasama pemanfaatan (KSP). YPUH dipersilahkan untuk menyewa dengan nilai yang dikeluarkan penilai atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan pola sewa memiliki batas waktu maksimal lima tahun dan bisa diperpanjang.
“Jika melalui skema KSP, maka prosesnya secara tender. Kita buka secara umum siapa saja yang mau melakukan kerjasama dengan limit angka anggaran atas biaya seperti ini. Siapa yang menawar lebih tinggi, itu dimenangkan,” katanya.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) ini pun menambahkan karena YPUH sudah berada di aset Pemkab tersebut dengan beberapa aset YPUH, komunikasi dilakukan kepada pihak pengurus. Namun, pemanfaatannya tidak boleh lagi sebagai krematorium. Kegiatan yang boleh dilakukan adalah yang berkaitan dengan keagamaan seperti pelatihan pemangku dan pelatihan tukang banten. Semua itu nantinya akan diatur dalam perjanjian sewa. Perjanjian sewa akan memuat untuk apa, sewanya berapa dan jangka waktunya.
“Menurut laporan dari BPKPD, pihak YPUH telah mengajukan permohonan sewa. Ini menandakan bahwa pihak yayasan telah memahami amar putusan kasasi dan memahami posisi yayasan sendiri. Proses administrasif akan ditindaklanjuti dengan penilaian aset yang dilakukan oleh tim penilai atau KPKNL,” imbuh Suyasa. (dra)