Inovasi pemanfaatan lahan yang tidak produktif khususnya di wilayah desa menjadi hal yang penting. Bertujuan untuk pemberdayaan desa dan masyarakatnya sendiri.
Hal itu diungkapkan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana saat memberikan pemaparan dalam sesi Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2022 secara virtual, Jumat (8/7).
Bupati Agus Suradnyana mengatakan Inovasi pemanfaatan lahan yang tidak produktif sudah dilakukan Desa Baktiseraga, Kecamatan Buleleng. Pemanfaatan dilakukan melalui program urban farming. Dengan memanfaatkan lahan tidak produktif milik warga dan berhasil menciptakan kesejahteraan desa. Sehingga, Desa Baktiseraga masuk dalam final KIPP Tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (KemenpanRB RI). Dari awalnya hanya memanfaatkan lahan untuk mengatasi permasalahan sampah, kini sudah berkembang dan juga menghasilkan pendapatan.
“Jadi ada sebuah lingkaran penyelesaian dari pemberian pupuk organik yang dihasilkan dari Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R) disana. Menyelesaikan persoalan kesehatan karena lahan dan lingkungan yang bersih dan tentu menghasilkan, itu yang paling penting,” ujarnya.
Sementara itu, Perbekel Desa Baktiseraga Gusti Putu Armada menjelaskan proses kompetisi telah diikuti dari seleksi awal hingga menuju ke Top 45. Ini proses akhir untuk mendapatkan predikat best of the best. Mulai dari program tata kelola sampah berbasis sumber yang dihubungkan dengan pemanfaatan lahan tidak produktif menjadi suatu model urban farming telah dilakukan.
“Kami menanam bibit sayuran untuk ketahanan pangan dan juga peternakan. Hasilnya juga dirasakan oleh seluruh masyarakat desa,” jelasnya.
Lahan yang dimanfaatkan tersebut, lanjut Putu Armada, merupakan lahan milik pribadi warga desa. Sebelum dimanfaatkan untuk menjalankan program desa, ia bersama jajaran pemerintah desa melakukan pendekatan untuk meminta izin kepada pemilik lahan. Awalnya ditawarkan dalam bentuk sistem kontrak, namun sebagian besar menolak. Karena murni untuk pemberdayaan desa. Sehingga mendapatkan respon positif dari para pemilik lahan tidak produktif tersebut.
“Semuanya mendukung. Selain itu juga ada timbal balik. Jadi apa yang kami lakukan, ketika sudah menghasilkan, kita bawakan hasil produksi sayur, pupuk kompos. Tidak ada ikatan formal yang diinginkan oleh para pemilik,” tutupnya. (rma)