Sebanyak 72 desa yang ada di Kabupaten Buleleng telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu. PPID Pembantu ini dibentuk dalam rangka mempermudah jejaring komunikasi dari hulu ke hilir dan juga pemberian informasi yang diminta oleh masyarakat bisa menjadi lebih cepat.
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Diskominfosandi) Kabupaten Buleleng, Ketut Yadnya, SH saat ditemui usai Rapat Koordinasi (Rakor) PPID Kabupaten Buleleng di Ruang Rapat Unit IV Kantor Bupati Buleleng, Selasa (23/4).
Ketut Yadnya menjelaskan dari keputusan kepala desa yang sudah dibuat, sebanyak 72 desa telah membentuk PPID pembantu. Pembentukan ini sangat diperlukan untuk mempercepat proses komunikasi dari hulu ke hilir bisa tersambung. Informasi yang diperlukan oleh masyarakat pun tidak tersumbat. Di samping itu, Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah yang besar sehingga pembentukan PPID ini sebagai ujung tombak penyampaian informasi di desa. “Sisanya, kita akan terus lakukan pendampingan sehingga terbentuk PPID Pembantu dengan menggandeng Komisi Informasi Bali,” jelasnya.
Mengingat Desa saat ini telah mengelola anggaran yang tidak sedikit, PPID Pembantu di desa ini merupakan ujung tombak pembangunan juga. Tanggung jawab pembangunan ada di aparat desa itu sendiri. Oleh karena itu, aparat desa harus memberikan informasi secara terbuka baik itu tentang pembangunan yang ada di desa dan informasi lainnya. “Sehingga informasi kepada masyarakat maupun pihak lainnya bisa transparan,” ujar Ketut Yadnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Informasi (KI) Bali yang juga sebagai narasumber di Rakor PPID ini, I Gede Agus Astapa mengungkapkan keterbukaan informasi publik pada tingkat desa di Bali saat ini sudah sangat luar biasa. Agus Astapa melihat bagaimana keterbukaan tentang anggaran yang digunakan di desa dibuatkan poster untuk diketahui oleh masyarakat. Hal ini terjadi mengingat desa saat ini mengelola dana yang sangat besar. Oleh karena itu, keterbukaan informasi ini menjadi suatu hal yang sangat positif. “Namun itu saja tidak cukup. Kami sarankan melalu keterbukaan informasi publik, masyarakat yang minta informasi mengenai pengelolaan dana desa wajib diberikan karena hal tersebut merupakan salah satu bagian dari kontrol sosial untuk membantu melakukan pengawasan,” ungkapnya.
Menurutnya, aparat desa atau lembaga publik termasuk instansi tidak boleh alergi atau takut terhadap permintaan informasi kepada lembaganya karena itu merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi jelas disebutkan bahwa badan publik wajib menyampaikan informasi secara berkala menyangkut kinerja, laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan. “Saat ini sudah 90 persen masuk era keterbukaan dibanding pada saat orde baru yang memang tertutup,” tutup Agus Astapa. (dra)