Bupati Buleleng, Bali Putu Agus Suradnyana mendukung pengusulan pemanfaatan Alas (Hutan) Mertajati yang ada di sekitar Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar menjadi hutan adat. Usulan ini disampaikan oleh Catur (Empat) Desa Adat Dalem Tamblingan.
Dukungan tersebut disampaikannya dalam pertemuan bersama dengan perwakilan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali dan Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan di ruang rapat Lobi Kantor Bupati Buleleng, Rabu (2/12).
Agus Suradnyana menjelaskan pengusulan tersebut dilakukan guna masyarakat dapat memelihara dan menjaga hutannya. Seperti yang telah dilakukan ratusan tahun silam. Oleh karenanya, krama (warga) adat Dalem Tamblingan yang saat ini tersebar di empat desa yaitu Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero harus memiliki perarem (aturan adat). "Di dalam batang tubuhnya berisi tentang bagaimana ruang-ruang atau desa-desa tersebut mengikuti apa yang telah disepakati oleh masyarakat adat dan desa," jelasnya.
Bagi masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Alas Mertajati atau yang memiliki arti sumber kehidupan yang sesungguhnya adalah salah satu hutan yang terletak di sekitar wilayah Danau Tamblingan. Hutan tersebut adalah kawasan yang suci. Di sana bertebaran pura-pura atau pelinggih (bangunan suci) yang semua saling terkait. “Ada 17 pura di kawasan itu yang dipuja oleh masyarakat adat catur desa Dalem Tamblingan,” ujar Agus Suradnyana.
Agus Suradnyana juga mengungkapkan Di dalam peninjauan ulang tata ruang yang baru, kawasan Wanagiri, Kecamatan Sukasada dan Tamblingan, Kecamatan Banjar ditetapkan oleh Provinsi Bali menjadi kawasan pariwisata yang ramah lingkungan. Di dalamnya di atur prinsip kofisien dasar bangunan. "Berapa persen yang boleh dibangun dan berapa persen yang tidak boleh dibangun,” ungkapnya.
Namun, perarem yang ada harus disesuaikan dulu. Hal tersebut lantaran kepemilikan tanah di Desa Munduk yang hampir 80 persen bukan lagi dimiliki oleh orang lokal disana. Sehingga, Jika masyarakat ke empat desa sudah sepakat menjadikan hutan tersebut menjadi hutan adat, maka sudah menjadi keharusan masing-masing desa memiliki perarem yang mengatur.
Berbicara masalah desa adat, mau tidak mau masyarakat adat meyakini bahwa dengan perarem yang dibuat nanti dapat menumbuhkan ketentraman dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat di Catur Desa tersebut. Di bawah Catur Desa ini banyak desa-desa yang memanfaatkan air permukaan yang ada di atasnya. "Jangan sampai tidak memberikan air yang sudah bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di bawahnya. Harus diatur dalam pendekatan teknokratis yang benar,” kata Agus Suradnyana.
Sementara itu, Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana mengutarakan bahwa dengan ditetapkannya nanti Alas Mertajati sebagai hutan adat dan selalu dianggap sebagai hutan suci oleh masyarakat, tentunya sangat berguna untuk mengaktifkan kearifan lokal. Tentang bagaimana masyarakat adat memelihara dan menjaga hutannya seperti yang dilakukannya ratusan tahun silam. Melalui data dari aliansi masyarakat adat nusantara menyebutkan bahwa dari seluruh hutan di Indonesia yang tersisa, yang terbaik sekitar 40 juta hektar itu adalah seluruhnya hutan adat. “Jadi karena masyarakat adat yang memelihara,” tuturnya.
Poin penting lainnya melalui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) juga mengeluarkan rilis terkait yang paling baik sebagai penjaga hutan atau pelestarian hutan itu adalah masyarakat adat. Masyarakat adat Dalem Tamblingan itu memiliki prinsip keimanan Piagem Gama Tirta yang maknanya memuliakan air. "Jadi, kami memilihara hutan manfaatnya tidak pada kami semata melainkan juga kepada masyarakat dan sekitarnya,” pungkas Jro Putu Ardana. (stu)