Dua dari empat pelanggar peraturan daerah (perda) sampah akhirnya diberikan vonis denda. Sedangkan, dua pelanggar lainnya tidak hadir sehingga harus menunggu keputusan dari majelis hakim apakah akan dipanggil paksa atau tindakan hukum lainnya.
Sidang terhadap dua pelanggar perda pengelolaan sampah tersebut digelar di Ruang Sidang Kartika, Pengadilan Negeri (PN) Singaraja, Rabu (4/12).
Pada sidang pertama, pelanggar pertama yaitu Herlina, warga Jalan Bhayangkara, Singaraja. Wanita yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) ini divonis oleh Hakim Tunggal Anak Agung Sagung Yuni Wulan Trisna dengan denda sebesar Rp. 200 Ribu. Herlina secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a Perda Nomor 1 tahun 2013 yang telah diperbaharui dengan Perda Nomor 6 Tahun 2018. Pelanggaran pasal tersebut diketahui karena Herlina tertangkap tangan membuang sampah tidak pada tempatnya di seputaran Jalan Kecubung, Singaraja.
Sidang kedua yang dipimpin oleh hakim tunggal Anak Agung Ayu Mertadewi memberikan vonis serupa kepada Hasan Basri, warga Desa Pemaron yang berprofesi sebagai wiraswasta. Hasan Basri kedapatan membuang sampah tidak pada tempatnya di seputaran Jalan Singaraja-Seririt tepatnya di Desa Pemaron.
Ditemui usai sidang, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Buleleng, Putu Suryawan menjelaskan persidangan ini sebenarnya sudah dijadwalkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP). PPNS sendiri sebagai penyidik di Pemkab Buleleng tetap berpikiran positif para pelanggar akan mematuhi aturan yang ada. Namun, sampai dengan sidang selesai, dua pelanggar tidak hadir. “Nantinya hal tersebut sudah menjadi kewenangan majelis hakim memutuskan apakah berkas dikembalikan atau penyidik disuruh memanggil tersangka,” jelasnya.
Selama ini, belum pernah ada vonis tanpa kehadiran dari terdakwa. Tanggung jawab penyidik adalah menghadirkan tersangka. Untuk vonis denda, dananya akan dikembalikan ke kas negara melalui Kejaksaan. PPNS adalah wakil dari kejaksaan selaku eksekutor karena sifatnya adalah tindak pidana ringan (tipiring). “Ini sifatnya sebagai pemasukan ke kas negara bukan ke kas daerah,” ujar Suryawan.
Sementara itu, salah satu hakim yang memimpin persidangan, Anak Agung Ayu Mertadewi menyebutkan di dalam memutus suatu perkara harus melihat berbagai aspek. Ini dilakukan agar mendapatkan suatu formula putusan yang benar-benar bijak. Efeknya bukan hanya kepada terdakwa, melainkan juga kepada masyarakat umum, negara, dan agama. Kalau hakim memvonis terlalu tinggi, sasarannya bisa menjadi kurang tepat. “Seperti yang kita lihat tadi, terdakwa kedua hanya berprofesi sebagai penjual makanan anak-anak. Berapa penghasilannya sehari. Dia sebenarnya tidak jahat tapi memang dia tidak tahu aturan dan ceroboh. Kita berikan vonis sesuai porsi kesalahannya,” tandasnya. (dra)