Proses pembebasan lahan untuk pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani atau yang sering disebut shortcut Singaraja-Mengwitani mulai digarap. Anggaran sebesar Rp. 200 Milyar sudah disiapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Bali.
Hal tersebut diungkapkan Kepala DPUPR Provinsi Bali, Ir. I Nyoman Astawa Riadi, M.Si saat ditemui di sela-sela pendataan awal masyarakat terdampak proyek shortcut titik 7-10 di Balai Banjar Pererenan Bunut, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Selasa (29/10).
Astawa Riadi menjelaskan dari awal DPUPR Bali memang diberikan tugas untuk pembebasan lahan shortcut titik 7-10. Pembiayaan pembebasan lahan sendiri dianggarkan dari APBD Provinsi Bali. Pembebasan lahan titik 7-10 diharapkan tuntas dibayar bulan Desember 2019. Masyarakat yang terdampak pun diajak untuk menyukseskan program pemerintah ini. “Kita harapkan seluruh masyarakat yang terdampak bisa menerima apa yang menjadi program pemerintah ini,” jelasnya.
Untuk anggaran pembebasan lahan, sudah disiapkan anggaran sebesar Rp. 190 Milyar. Untuk DPA di DPUPR total menjadi Rp. 200 Milyar. Jumlah ini masih menjadi estimasi. Tergantung nanti dari tim appraisal berapa jumlah yang harus dibayarkan kepada masyarakat yang terdampak. Pemerintah tidak menentukan berapa harga dari lahan masyarakat. “Dari Rp 200 Milyar itu, bisa kurang bisa lebih. Nanti tim appraisal yang menentukan,” ujar Astawa Riadi.
Dari pendataan awal yang dilakukan tim persiapan pembebasan lahan, tercatat ada 145 orang yang lahannya terdampak pembangunan shortcut ini. Jumlah tersebut tersebar di tiga desa yaitu Desa Wanagiri, Desa Gitgit, dan Desa Pegayaman. Lahan yang terdampak diestimasikan mencapai 31,41 hektar.
Sementara itu, Anggota Tim Pembebasan Lahan yang juga Kepala Bagian Pemerintahan, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Bali, Dewa Made Ardana menyebutkan jumlah 145 orang tersebut bisa saja berkembang karena trase jalan baru bisa saja berubah. Pendataan awal ini merupakan gerakan pertama untuk menuju ke konsultasi publik. Data riil akan didapat dari pendataan awal sehingga bisa berlanjut ke konsultasi publik. “Nanti saat konsultasi publik yang rencananya digelar tanggal 5 November 2019, kita akan undang tiga desa ini, warga yang terdampak dan tokoh masyarakat,” ujarnya.
Dirinya menambahkan acuan penentuan lokasi (penlok) bisa dikeluarkan setelah masyarakat sepakat pada saat konsultasi publik. Ini dikarenakan output dari konsultasi publik adalah Berita Acara sebagai dasar penerbitan penlok. Segala keberatan dan masukan akan muncul di Berita Acara tersebut. “Sesuai dengan aturan yang ada, apabila ada keberatan, masih ada waktu dan diberikan kesempatan,” pungkas Dewa Made Ardana. (dra)