Dengan menerapkan Jargon Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan (STOP) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Kabupaten Buleleng, Bali berhasil menekan angka penularan virus HIV/AIDS. Pada tahun 2020 ini kasus yang terjadi cukup landai.
“Tidak terjadi lonjakan yang serius, kita masih bisa menekan kasusnya. Dalam satu tahun terakhir, hingga Bulan Oktober 2020 angka penyebarannya hanya dibawah 200. Itupun juga banyak kasus yang tertular di luar wilayah Kabupaten Buleleng. Tapi karena KTP nya dari Buleleng, kita masukkan di daerah Buleleng,” ujar Wakil Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra, Selasa (1/12).
Penyuluhan harus tetap dilakukan, untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa sebenarnya Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) itu jangan dijauhi. Karena penularannya diketahui dari hubungan seksual yang tidak sehat, melalui cairan lendir dan juga jarum suntik. Hal tersebut harus tetap disosialisasikan.
“Kita harus memberikan pengertian bahwa tidak boleh takut dengan penderitanya. Tetapi takutlah dengan penyakitnya. Karena HIV/AIDS ini dapat dicegah dan dikendalikan salah satunya dengan mengadakan sosialisasi ataupun penyuluhan,” jelas Sutjidra.
Khusus untuk ibu hamil, lanjut Sutjidra, akan dilakukan tindakan awal oleh petugas kesehatan ketika melakukan pemeriksaan kondisi kehamilan. Akan dilakukan tes Voluntary Counseling and Testing (CVT). CVT tersebut merupakan tes yang dilakukan untuk mengetahui status HIV. Jika CVTnya reaktif akan dilakukan perlakuan khusus sebagai langkah lanjutannya.
“Misalkan tidak boleh melahirkan normal, tidak boleh menyusui, sehingga tidak terjadi penularan kepada bayinya. Screening dengan tes CVT ini wajib, dan difasilitasi oleh pemerintah. Kami sudah lakukan hal tersebut sejak tiga tahun lalu,” imbuhnya.
Khusus di Buleleng, yang rentan terkena virus ini yakni pada usia produktif. Pada kalangan remaja dan dewasa dengan kisaran umur 20 hingga 45 tahun. Upaya penekanan terus dilakukan sehingga target dibawah dua digit angka dapat tercapai per bulannya. Kebanyakan yang tertular dari wiraswasta.
“Yang menjadi hambatan disini keterbukaan dari mereka. Banyak yang tidak ingin diekspos, tidak mengaku. Mereka menularkan ke orang lain, itu yang menjadi masalah. Hingga kini relawan-relawan kami tetap mengawasi,” pungkas Sutjidra. (rma)