Pariwisata di Buleleng saat ini menuju ke arah yang lebih baik. Pembangunan pariwisata di Buleleng secara berkelanjutan dilakukan oleh stakeholder yang bersinergi secara langsung. Pengembangan pun terus dilakukan dengan prinsip berdasarkan Tri Hita Karana dan Budaya.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng, Ir. Nyoman Sutrisna, MM saat mewakili Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, ST menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Dinamika dan Perkembangan Pariwisata Bali Utara” di Gedung Seminar Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Rabu (19/12).
Nyoman Sutrisna menjelaskan dalam dunia pariwisata, perlu dipikirkan bagaimana alam Bali supaya betul-betul bisa ajeg. Hal pertama adalah perlu diketahui sumber daya manusia seperti apa. Lalu, alamnya seperti apa dan bagaimana pengembangan pariwisata berbasiskan budaya Bali. Oleh karena itu, prinsip pengembangan pariwisata Bali secara umum dan Buleleng secara khusus adalah Tri Hita Karana dan Budaya. “Dengan ditambah bagaimana budaya ini dapat memberdayakan masyarakat sekitar,” jelasnya.
Selain Tri Hita Karana dan Budaya, pengembangan pariwisata juga tidak terlepas dari Aksesibilitas, Amenitas, dan Atraksi (3A) sesuai dengan apa yang sering dipaparkan Menteri Pariwisata. Seluruhnya dari 3A tersebut harus dipenuhi guna menunjang pengembangan pariwisata. Selama ini, yang masih menjadi hambatan adalah aksesibilitas. “Aksesibilitas masih menjadi hambatan. Namun sekarang sudah mulai sedikit demi sedikit diperbaiki,” ujar Nyoman Sutrisna.
Mengenai pemberdayaan masyarakat, anggota Komisi XI DPR RI, Tutik Kusumawardhani yang juga didaulat menjadi narasumber pada FGD ini menyatakan kesepahamannya dengan Kepala Dinas Pariwisata Buleleng. Sebagai anggota Komisi XI yang membidangi pariwisata, pemberdayaan masyarakat dalam bidang pariwisata melalui community based tourism sudah sering dilakukan. “Seperti yang sudah dilakukan pada Desa Wisata Munduk yang menjadi Desa Wisata Binaan TPAKD Provinsi Bali dan memperoleh CSR dari BRI,” ungkapnya.
Selama ini diketahui terjadi kesenjangan antara Bali Utara dan Bali Selatan. Mengenai hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana melihat adanya pembiaran dari dulu. Anggota DPRD Provinsi Bali empat periode ini mengatakan kesenjangan tersebut sengaja dibiarkan. Pembiaran tersebut menurutnya bisa terlihat dari penyusunan Perda RTRW dimana di Buleleng dulunya sama sekali tidak ada kawasan pariwisata. “Kalau tidak ada kawasan pariwisata bagaimana kita bisa membangun. Maka dari itu saya sebagai Ketua Pansus PErda RTRW sangat mendorong adanya kawasan pariwisata di Buleleng,” ungkap Kariyasa Adnyana.
Sementara itu, dari kalangan akademisi Undiksha, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja mengatakan sependapat dengan Kariyasa Adnyana. Bagaimana Bali Utara dibiarkan tertatih-tatih sendirian sedangkan pembangunan terfokus di Bali Selatan. Namun, saat ini sudah ada gerakan-gerakan baru untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Salah satunya adalah pembangunan shortcut. Pembangunan shortcut ini bisa memecah permasalahan keterjangkauan yang selama ini terjadi. “Bagaimana gerakan-gerakan baru untuk memajukan Bali Utara dan mengurangi kesenjangan dengan Bali Selatan ada saat ini. Salah satu contoh usahanya adalah pembangunan shortcut untuk memecah permasalahan keterjangkauan,” pungkasnya. (dra)